beberapa orang yang (coba) saya ceritakan tentang kesedihan hati saya karena harus kehilangan kucing "peliharaan" yang sudah ada bersama saya selama -kurang lebih 10 tahun- selalu menjadikan cerita saya ini sebagai lelucon.
bahwa kucing hanyalah hewan, yang seharusnya merasa beruntung jika mereka mati.
bahwa 'kucing mati' adalah hal paling biasa yang terjadi di dunia ini.
bahwa kucing bukanlah pacar saya atau keluarga saya yang harus saya tangisi.
lain ladang, lain ilalang. lain kepala, lain pemikiran.
bahwa bagi saya kucing (yang biasa saya panggil ucing) memiliki arti lebih dari pacar-pacar saya, memiliki posisi seperti keluarga di dalam hati saya, walaupun tidak bisa disejajarkan dengan posisi keluarga inti saya (sebab ayah, ibu, dan kakak-kakak saya tetap menempati posisi terpenting dalam hidup saya).
dia, yang tak pernah bisa menjadi pendengar sekaligus pencerita yang baik, nyatanya selalu menjadi tempat keluh kesah saya dan menjadi teman bagi saya untuk bersantai dikala petang. dengan segala keterbatasannya, nyatanya dia yang tak pernah pergi menjauh dari kehidupan saya.
lalu saya mulai berpikir: haruskah tercipta paham animalisme untuk menghargai setiap binatang, untuk membinatangkan binatang, dan untuk memahami sudut pandang binatang?
karena 'mereka' -sekalipun tak sesempurna manusia- tetapi mereka tetaplah makhluk yang peka dan setia dan tak pernah berpura-pura.
maka tak perlu menganggap semuanya menjadi hiperbola. karena saya juga tidak pernah berpura-pura untuk mendapatkan empati anda. pun saya tidak berharap anda akan ikut larut bersama saya. kepedihan saya adalah untuk saya.
for all people has me tell you, except Delita, Destia, Rizka, Taufik, Dedi, Afri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar